Kategori

Affiliate (9) Aksesoris (1) AntiVirus (3) Artikel (12) Bisnis (14) Blogger (4) Downloads (7) Eset (3) Listplank (1) Louster (1) Mobil (1) Mp3 (1) Pilar (3) Plengkung (1) Pot Bunga (1) Produk (14) Seo (1) shop (1) Showroom (4) Software (3) Tugu (1) Tutorial (8) Wordpress (2)

Total Pageviews

You Are Here: Home - Artikel - Membumikan Adat dan Budaya Dalam Islam

Pengaruh Adat Tempatan dan Budaya Masyarakat dalam Hukum Islam Pendahuluan Kalau kita ditanya adat itu apa?, maka jawabannya sederhana saja. Yaitu peraturan hidup sehari-hari. Kalau hidup tanpa aturan biasa kita sebut dengan nama "tak beradat". Jadi aturan itulah adat, dan adat itulah yang jadi pakaiannya sehari-hari kita. Karena itu tersimpullah; duduk tagak beradat, makan minum beradat, berbicara beradat, berjalan beradat, menguap beradat dan batuk saja pun bagi orang timur ada adatnya.


Sebagai perbandingan dapat kita bisa lihat perbedaan budaya antarabangsa. Orang Barat maupun orang timur, Indonesia, Malaysia umumnya menganut paham "Lady First", perempuan yang utama, tapi orang Jepang menganut paham Kesatria, “Otoko No Ichiban”, prialah yang nomor satu. Karenanya kalau naik mobil wanitalah yang naik kemudian, pria Jepanglah yang naik duluan. Kita jangan tersinggung melihat adegan yang demikian. Begitu juga orang Minang kalau makan, Bapak-bapaknya dulu, "kami bialah kudian" kata ibu-ibu, tapi di tempat lain adalah "Lady First". Dalam hal yang demikian ini sudahpun kita mempelajarinya: “Lain padang lain belalang, Lain lubuk lain ikannya”. Definisi masyarakat adat eksplisit disebutkan, yaitu kelompok masyarakat yang secara turun temurun hidup di wilayah geografis tertentu karena ikatan pada asal-usul leluhur, mempunyai hubungan kuat dengan sumber daya alam, dan memiliki sistem nilai yang menentukan pranata ekonomi, politik, sosial dan hukum, yang ditegakkan lembaga-lembaga adat.(Suara Pembaharuan Daily)

Sedangkan kultur atau budaya, akan kami kemukakan ta'rif yang sederhana saja. Kebudayaan adalah buah dari semua perbuatan dan usaha yang berpangkal dari kesadaran manusia. Manusia sadar perlu berlindung dari teriknya matahari, dari siraman hujan, dari terpaan angin. Maka tebing-tebing batu dilubangi, gubuk-gubuk, rumah-rumah, gedung-gedung dibangun. Itulah kebudayaan bangun-membangun bangunan. Manusia sadar perlu mengisi perut dan berpakaian dalam kehidupan sehari-hari. Maka ditempuhlah cara-cara untuk memperoleh rezeki. Itulah kebudayaan yang disebut ekonomi. Manusia sadar akan perlunya hiburan untuk konsumsi jiwanya. Maka lahirlah kebudayaan yang disebut kesenian. Manusia sadar akan perlunya tata-tertib dalam pergaulan hidup sehari-hari, maka lahirlah etika dan adat pergaulan, norma-norma dan aturan-aturan yang mengikat anggota masyarakat. Itulah kebudayaan hukum. Manusia sadar akan perlunya lembaga yang mempunyai kekuasaan yang harus ditaati untuk mengatur masyarakat, yang disebut pemerintah. Timbullah kelompok-kelompok yang membentuk kekuasaan (macht vorming) dan mengerahkan kekuasaan (macht aanwending), untuk dapat mebentuk pemerintahan. Maka lahirlah kebudayaan yang disebut politik. Dengan demikian kebudayaan suatu komunitas untuk ruang dan waktu berlangsung secara dinamis yang diterima sebagai "nilai budaya" dan diakui "kebenarannya" berdasar atas "kesepakatan" komunitas, sehingga nilai budaya itu relatif sifatnya. Adat, Budaya dan Islam Berkenaan dengan Syariah sebagai salah satu inti ajaran Islam, institusi hukum dalam Islam sebetulnya senantiasa bertalian dengan tradisi tempatan masyarakat. Dalam proses pembentukan dan perkembangannya Islam senantiasa membuka diri dengan nilai-nilai ranah sosial masyarakat. Karenanya mengapa substansi hukum yang diderivasikan dari budaya masyarakat lokal (Arab, saat itu) sering diadopsi oleh Nabi untuk masuk dalam lingkup sistem hukum agama yang sakral. Ambil contoh institusi hukum warisan, qisas, maupun hukum keluarga lainnya. Kita melihat betapa nilai-nilai adat masyarakat Arab sangat kental dalam filsafat bangunan hukumnya. Dengan demikian, dalam proses perkembangan berikutnya bangunan Syariah Islam perlu juga mengadopsi tradisi hukum dalam masyarakat tertentu di mana ia dikembangkan. Inilah esensi kaidah usul fiqh Al-Adah Muhakkamah. Contoh lain pengadopsian kultur budaya arab, beberapa tradisi seperti berjenggot, berjubah, berjilbab, maupun hukum potong tangan sebagai tradisi Arab yang tidak perlu diikuti. Dewasa ini semangat pemurnian Islam telah berwujud gerakan massa yang merambah ranah praksis. Di antaranya adalah jaringan Ikhwanul Muslimin, Khizbut Tahrir Indonesia dan Majlis Mujahidin Indonesia. Mereka menghasilkam alternatif nyata wujud keberagamaan yang lain. keberagamaan Islam yang mereka sebut ”otentik”, Islami dan kaffah, yang seharusnya diberlakukan di seluruh dunia Islam. Sebuah fundalentalisme yang dianggap universal (shahih li kulli zaman wa makan; cocok untuk semua jaman dan keadaan).

Gagasan Islam pribumi yang dikembangkan sebagai jawaban dari Islam Otentik atau Islam Murni yang ternyata lebih mengarah kepada Arabisasi diusung oleh Abdurrahman Wahid dalam rangka menghindarkan tercerabutnya agama dari akar budaya. Menurut Gus Dur, proses Arabisasi atau mengidentifikasikan diri dengan Timur Tengah hanya mengakibatkan umat Islam Indonesia tercerabut dari akar budayanya sendiri. bagaimanapun juga jelas berbahaya mengabaikan tradisi dalam proses agamisasi. Apalagi menempatkannya di seberang program agamisasi tersebut. Tradisi keyakinan keagamaan merupakan ruh bagi nalar individu dan masyarakat dalam memahami dinamika sosial dan proses pelebura agama, dalam tata hubungan sosial dan perilaku adat istiadat lokal.

Dengan pribumisasi Islam dapat dijamin adanya keragaman interpretasi dalam plikasi nilai-nilai keberagamaan di setiap wilayah yag berbeda. Kondisi ini memungkinkan Islam dipandang secara plural dan egaliter, bukan tunggal dan otoriter. Bagi Islam Pribumi, Islam bukanlah agama yang sekali jadi. Islam tidak lahir dari ruang lingkup dan lembaran kosong. Islam telah berafiliasi dalam fakta historis. Segala sesuatu, sekalipun Kitab Suci yang diyakini sebagai firman Tuhan yang abadi, karena telah membumi maka ia terkena kategori sebagai fakta historis. Fakta historis ini dapat kita jumpai semenjak Islam masih berada di Mekah dan Madinah. Islam Mekah adalah Islam hasil perjumpaan wahyu dengan tradisi lokal Quraisy atau Arab paganis (jahiliyyah).

Sedang Islam era Madinah adalah Islam yang telah bersinggungan dengan perbagai budaya dunia semacam Yahudi dan Nasrani. Dengan nalar historis bisa dimengerti jika karakter dan genre ayat Makkiyah berbeda dengan ayat-ayat Madaniyah. Konsep Islamisasi Arab setidaknya menampakkan tiga pola, pertama Islam mengambil sebagian tradisi dan meninggalkan sebagian lainnya. Kedua, Islam mengambil dan meninggalkan tradisi Arab secara setengah-setengah dengan mengurangi atau menambahkan adat dan praktek pra-Islam.

Ketiga, Islam meminjam norma-norma tersebut dalam bentuknya yang paling sempurna tanpa mancerna dan mengubah namanya. (Khalid Abdul Karim, 1990) Karena sifatnya yang selalu berdialektikaa dengan relitas, maka tradisi keagamaan dapat berubah sesuai dengan konteks sosial dan kultural suatu masyarakat. Dalam konteks Indonesia, Islam yang baik adalah Islam yang memahami kebutuhan-kebutuhan masyarakat Indonesia. Menawarkan solusi atas problem-problem yang dihadapi dan menjawab tantangan-tantangan ke depan. Dalam pandangan Gus Dur sebagai penggagas pribumisasi Islam, Islam Pribumi sama sekali tidak berpretensi untuk mengangkat budaya-budaya lokal Arab, karena Arabisasi belum tentu cocok dengan segala keperluannya. (Catatan dari Ciganjur Gus Dur, Walisongo dan Arabisasi - Oleh : Syaifullah Amin Penulis adalah fasilitator Arabic and Middle East Studies. Ponpes Luhur Ciganjur)

Kami akan banyak mengupas daripada perdebatan atau dialog Ulil Abshar-Abdalla dan H.M. Nur Abdurrahman pada millis majalah assabili dan islam liberal; Antara Kultur dan Wahyu Ada suatu pernyataan, manakalah wahyu dipengaruhi oleh kultur, bahwa Qur'an sebetulnya dikondisikian oleh situasi, maka itu adalah penghinaan atas Allah swt. Apalagi, sekali lagi dan sekali lagi (mohon maaf lo ya), kalau terlalu jauh mengatakan, "menghina Allah, mendustakan Nabi, melebihi Ghulam Ahmad, so and so." Came on, Sir! Kenapa kok sampai ada penyatan seperti itu?... Meskipun ratusan definisi atas budaya itu berseliweran dalam tradisi kesarjanaan Barat dan Timur, okelah secara 'hipotetis' kami terima saja definisi anda (sebetulnya definisi yang pakai itu definisi berdasarkan "common sense" saja; siapapun bisa mengemukakan hal seperti itu; di Jerman bahkan istilah "kultuur" itu pernah mempunyai konotasi buruk, karena itu adalah "ulah manusia" untuk mengubah alam, dan bahkan menghancurkannya; pada zaman romantik, orang sebel pada "kultuur" dan lebih menggandrungi "natuur" [Ini sih katanya Norbert Elias dalam "The Civilizing Process"]).

Intermezo sedikit, Setelah wafatnya Rasul, saya menempatkan akal dan wahyu dalam kedudukan sejajar. Bahkan aspek-aspek yang partikular dan historis dalam wahyu bisa "diamandemen" oleh pertimbangan akal. Sebab, setelah meninggalnya beliau, kita tidak bisa bertanya langsung kepada Nabi setiap ada peristiwa baru yang butuh solusi, seperti pada zaman sahabat. Yang ada pada kita adalah teks Qur'an dan sunna. "Taraktu fikum amrain ma in tamassaktum bihima lan tadhillu abadan." Tetap teks itu sifatnya adalah "polyfonik", mempunyai tafsiran dan "suara" yang banyak, sesuai dengan penafsirnya. Kata Sayyidina 'Ali tentang Qur'an, "Innama yunthiquhur rijal." Qur'an itu adalah teks mati; yang membuatnya "hidup" dan berbunyi adalah manusia. Sementara manusia itu berbeda-beda pendapatnya. Ini kata Imam Ali, lo. Jangan dibilang menghina Allah dan Islam. Jadi, pada poin kali ini, mohon maaf, saya tak sepakat. Wahyu dan akal bekerja bersama-sama, dan saling melengkapi. Bahkan saya berpendapat: yang terbatas bukan saja akal; bahkan wahyu yang telah menjadi "verbal" dalam bentuk susunan kata-kata yang turun pada Nabi pun adalah terbatas.

Antara Akal Dan Wahyu Kembali ke masalah , mengenai pengertian dan pemahaman diagram dan kesepakatan dengan diagram tersebut; input -----> wahyu [proses dalam diri Nabi Muhammad SAW] -----> output Al Quran Bedanya dengan kultur input-----> alam sekitar [proses adaptasi dan pembelajaran dalam kumpulan masyarakat Arab] ----> output kultur Arab Karena akal adalah sumber yang nantinya akan menghaslkan budaya maupun kultur tidak ada salahnya kamu menjelaskan sedikit antara akal dan wahyu.

Proses adaptasi dan pembelajaran itu adalah olah akal, baik itu olah pikir maupun olah rasa. Jadi olah akal dalam kumpulan masyarakat Arab membuahkan output kultur Arab. Jadi akal tak terpisahkan dari lahirnya suatu kultur. Kita teruskan. Kalau terjadi pertentangan antara akal dengan ayat Al Quran, alternatif mana yang anda ambil: menolak pengertian literal terhadap ayat mentakwilkan ayat menolak akal, memilih ayat dengan memahamkannya secara literal memilih akal dan juga sekaligus memilih ayat dengan pengertian literal Contoh: Alladziy ja'ala lakum mina sysyajari l.akhdhari naaran faidzaa antum minhu tuwqiduwn (36:80). Akal mengatakan yang dibakar itu menurut pengalaman adalah kayu yang kering yang coklat warnanya, bukan kayu yang masih basah yang hijau warnanya. Tentu saja di sini tidak kena mengena dengan kebakaran hutan, karena ayat itu menyatakan antum minhu tuwqiduwn. Silakan memilih alternatif terbut. Mendudukkan ayat dalam surah Yasin yang kutip diatas itu. Memaknai kata "akhdlar" di situ sebagai sesuatu yang mencakup segala jenis dahan dan pepohonan yang masih "hijau" atau basah. Ya nggak bisa dong. Mana ada dahan mangga dipotong jadi dua lalu digesekkan dan keluar api. Itu tak pernah terjadi, baik sekarang atau pada zaman ayat itu turun. Memang ayat itu tidak bicara soal segala jenis dahan yang basah. Ayat itu merujuk kepada satu jenis pepohonan saja; dan untuk itu kita perlu merujuk kepada rekaman sejarah yang ditulis oleh para mufassir. Kutipan dalam, Asy Syaukani dalam "Fathul Qadir" menyebutkan bahwa kata "akhdlar" di situ merjuk kepada jenis pepohonan yang ada di Arab saat itu, yaitu pohon "marakh" dan "'ifar". Saya sendiri tak tahu bagaimana terjemahan dua kata itu, karena saya juga tak tahu jenis pepohonan seperti apa keduanya itu. Ini persis seperti ayat dalam surah 'Abasa, "Wa fakihatan wa abba." Umar sendiri, salah seorang sahabat utama, tidak tahu apa arti "abba" dalam ayat tersebut, dan baru paham ketika diberi tahu oleh sahabat lain. Kata "abba" itu merujuk kepada makna tertentu dalam tradisi penggembalaan binatang piaraan di padang pasir. Jadi tidak ada pertengtangan atau konflik antara wahyu dan akal.

Yang akan itu nantinya melahirkan budaya maupun kultur. Satu lagi persoalan dan pemahaman yang umumnya; input ==> [proses] ==> output wahyu ==> [proses dalam diri Nabi Muhammad] ==> Al Quran (ayat qawliyah) surroundings ==> [proses adaptasi & pembelajaran oleh komunitas Arab] ==> kultur Arab Kultur Arablah yang mula-mula mendapat "suntikan" ayat qawliyah, secara berangsur-angsur, sehingga ayat qawliyah itu haruslah dalam bahasa Arab. Innaa anzalnaahu qur.a-nan 'arabiyyan, la'allkum ta’qilun. Mengapa Allah menekankan pada akhir ayat supaya kita mempergunakan 'akal. Akal.Hasil suntikan ayat qawliyah pada kultur Arab, Bukanlah muatan lokal/kultur arab. Pokok peesoalan yang selalu diulang-ulang terus adalah bahwa pernyataan tentang adanya pengaruh kultur Arab dalam ajaran Islam anda anggap sebagai penghinaan atas Allah. Saya tidak tahu, dari mana kok ada yang berkesimpulan seperti itu. Kalau tidak setuju dengan pendapat seseorang mengenai Islam, kami tidak akan mengatakan bahwa orang itu telah menghina Allah; sebab, siapakah yang tahu kehendak Allah secara persis. Kalau tidak sepakat dengan pendapat lain dalam hal "pengaruh kebudayaan Arab dalam ajaran Islam," Dan kalu ada yang mengatakan ada yang menghina Alloh, maka yang terjadi adalah: seolah-olah orang itu mengetahui dengan persis kehendak Allah; lebih celaka lagi, seolah-olah mereka mau meletakkan suatu pendapat dengan setara dengan "Tuhan" itu sendiri, sehingga orang-orang yang berlawanan/konflik/silang pendapatnya sama dengan melawan Allah. Cara berargumen yang sehat adalah: jika seandainya tak setuju dengan penafsiran seseorang atas Islam, kemukakan kritik dan argumentasi, tetapi tidak usah menuduh bahwa lawan diskusi, misalnya, telah keluar dari "manhaj" Islam, telah menghina Allah, menghina Rasul, menghina Islam. Ada sestengah orang mengatakan bahwa, "Budaya bersumber dari akar yang historis, sedangkan wahyu sumbernya non-historis yaitu Allah SWT." Oke, itu adalah pemahaman yang lain, bukan gambaran dari kebenaran Islam itu sendiri. Pandangan seperti itu meletakkan seolah-olah antara "budaya" dan "wahyu" adalah saling bertentangan. Sumber wahyu memang "non-historis", tetapi ketika Allah hendak berbicara dengan manusia melalui Rasul-Nya, maka Allah menggunakan peralatan yang "historis" untuk bisa menyampaikan pesan kepada manusia. Qur'an sendiri berfirman, "wa likullin ja'alna minkum syir'atan wa minhaja," masing-masing umat suatu rasul diberikan syari'at dan "manhaj" yang sesuai dengan kondisi sosial mereka masing-masing. Artinya, wahyu dan firman Tuhan mewujudkan diri melalui bahasa budaya lokal. Itulah sebabnya, Qur'an turun secara "tadarruj", gradual, karena Allah tidak bisa mengabaikan begitu saja konteks historis yang ada. Bagaimana mungkin Allah yang "non-historis" berbicara dengan manusia yang "historis" kalau tidak menggunakan piranti-piranti kultural yang historis. Contoh kongkret: karena Qur'an turun di tanah Arab, maka dengan sendirinya wahyu Allah turun dengan menggunakan piranti kultural yang historis, yaitu bahasa Arab, "Inna anzalnahu qur'anan 'arabyyan la'allaku ta'qilun". Karena Qur'an turun dalam bahasa Arab, maka struktur linguistik Arab jelas mempegaruhi ajaran Islam itu sendiri.

Kalau mengikuti studi-studi linguistik modern (karena studi ini berkembang di Barat, mungkin tak mau terima ya? Barat kan "kafir"), maka dengan jelas diperlihatkan bahwa sesungguhnya bahasa bukan sekadar deretan kalimat, tetapi juga "pandangan dunia". Jadi, karena wahyu Islam turun dalam bahasa Arab, maka "pandangan dunia" orang Arab jelas mempengaruhi ajaran Islam. Dengan mengatakan ini, saya tidak sedang menghina Allah. Di mana menghinanya? Kalau Allah menggunakan bahasa Arab (sesuatu "yang historis") untuk berkomunikasi dengan orang Arab, apakah Allah menghina dirinya sendiri? Pendapat itu bahkan tidak pernah ditemukan dalam tradisi kajian hukum Islam klasik yang paling konservatif pun. Di kalangan juris Islam, pengaruh budaya atas ajaran Islam itu diakui sebagai sesuatu yang absah. Itulah sebabnya ada diktum "al 'adah muhakkamah", adat masyarakat bisa dijadikan sumber hukum Islam. Artinya: hukum Islam itu dipengaruhi oleh kultur setempat. Apanya yang salah dengan fakta semacam ini. "Ada wahyu yang dipengaruhi kultur Arab", itu sudah menghina Allah SWT. Artinya juga ==> itu bervisi "Al Quran tidak murni terdiri atas wahyu, sebab ada sebahagian yang dipengaruhi kultur Arab. Artinya ==> telah mendustakan Nabi Muhammad SAW. ==> telah melebihi ghulam ahmad, nabi palsu dari India itu. Sebab ? Ghulam Ahmad walaupun mengaku menerima wahyu, masih mengakui bahwa Al-Quran itu murni dari wahyu." Kalau wahyu tidak dipengaruhi oleh budaya lokal, kenapa setiap datang nabi baru, sebagian ajaran nabi sebelumnya dibatalkan? Alasannya jelas: setiap nabi membawa wahyu yang sesuai dengan kondisi historis yang dihadapinya; wahyu, dengan demikian, dikondisikan oleh konteks yang historis. Wahyu ada "dalam" sejarah manusia, bukan di "luar" sejarah manusia. Iya memang Qur'an adalah wahyu terakhir, sehingga hukum-hukumnya tidak akan mungkin dibatalkan oleh ajaran lain; sebab setelah Qur'an tidak ada wahyu lagi. Apa sih yang disebut dengan "hukum Qur'an" itu? Osamah ben Laden, meniru Hasan Al Banna, melontarkan semboyan yang ditiru oleh pengikutnya Abu Bakar Ba'asyir di sini, "Al Qur'an dusturuna," Qur'an adalah undang-undang kami, konstitusi kami. Itulah landasan orang-orang yang ingin menegakkan syari'at Islam. Apa sih yang disebut hukum Qur'an itu? Qur'an memang panduan dan "guide" bagi kehidupan umat Islam (hudan lin nas), tetapi dia bukan kitab hukum.

Teks-teks Qur'an bisa ditafsirkan secara berbeda-beda oleh para ulama dan sarjana. Ambil contoh: apakah bunga bank itu adalah "riba" seperti yang dimaksud oleh Qur'an, dan kerana itu haram? Ayatnya memang jelas, "wa ahallahul bai'a wa harramar riba." Tetapi "riba" didefinisikan secara berbeda-beda oleh ulama, sehingga status bunga bank-pun diperselisihkan. Kalau ada hukum Qur'an dalam soal bunga bank, maka pertanyaannya: manakah pendapat yang paling sesuai dengan hukum Qur'an, pendapat yang menghalalkan atau mengharamkan. Apakah orang yang menghalalkan bunga bank adalah menghina Qur'an, Allah, dan Nabi? Soal riba ini juga memperlihatkan bahwa sebetulnya wahyu Qur'an itu sangat dipengaruhi oleh budaya Arab setempat. Sebab, istilah "riba" itu memang sudah ada dalam masyarakat Arab saat itu; pengertian mengenai "riba" seperti disebut Qur'an juga merujuk kepada bagaimana istilah itu dimengerti oleh masyarakat Arab. Karena pengertian "riba" dalam Qur'an terkait dengan penggunaannya dalam masyarakat Arab maka para ulama modern berbeda pendapat: apakah bunga bank termasuk dalam pengertian "riba" dalam Qur'an itu. Contoh lain: penggambaran sorga dalam Qur'an jelas sekali dipengaruhi oleh "ekspektasi" yang khas Arab terhadap apa yang disebut dengan "jannah" atau kebun (surga). Qur'an menggambarkan sorga sebagai "mengalir di bawahnya sungai-sungai". Dalam surah Al Ghasyiyah dikatakan, "fiha 'ainun jariyah, fiha sururun marfu'ah, wa akwabun maudlu'ah, wa namariqu mashfufah, wa zarabiyyu mabtsutsah ...". Surga dalam surah Al Ghasyuyah ini persis seperti bayangan orang-orang Arab mengenai istana raja-raja yang mereka kenal pada saat itu. Apakah sorga seperti itu? Kalau anda berandangan literalistik, dan beranggapan bahwa surga ya seperti digambarkan Qur'an itu, maka surga semacam itu hanyalah surganya orang Arab. Kalau itu kan ilustrasi saja agar orang Arab paham, maka itu telah menempuh suatu metode penafsiran yang dalam tradisi tasawwuf disebut "ta'wil", yaitu memahami kalimat bukan berdasarkan makana lahiriahnya, tetapi berdasarkan esensi "esoterik" (bathin)-nya. Metode "ta'wil" inilah yang saya pakai untuk memahami ayat-ayat yang berkaitan dengan hukum pidana dan yang lain. Seperti qishash, rajam, dan lain-lain itu adalah cara menerjemahkan nilai dasar Islam tentang "perlindungan nyawa dan keturunan" yang merupakan bagian dari "al kulliyyatul khamsah" dalam cara yang sesuai dengan kultur Arab saat itu. Qishash tidak wajib kita ikuti, yang wajib kita ikuti adalah nilai esensial yang ada di baliknya. Umat Islam diwajibkan untuk berijtihad untuk mencari kerangka kelembagaan agar nilai esensial tentang "perlindungan nyawa" itu bisa terwujud dalam kehidupan yang kongkret. Itulah ta'wil. Dan janganlah mengecam, kalau tak seutuju dengan pendapat ini langsung mengecapnya sebagai "menghina Allah". Kalau diradikalkan pendapat, akan mengatakan: bahwa wahyu tidak bisa tidak kecuali dipengaruhi oleh budaya setempat. Sebab wahyu sebagai "kehendak" Allah harus memakai "baju" yang kongkret, yaitu kultur masyarakat yang ada. Kalau wahyu adalah sepenuhnya "non-historis', maka dia akan seperti "hantu" yang melayang-layang tanpa tubuh (Ini tamsil saja Pak, jangan "diambil hati" lalu anda simpulkan lagi sebagai menghina Allah dan Qur'an; jangan mudah beranggapan begitu ah....ndak baik).

Jadi, struktur wahyu itu adalah begini: Pesan universal (seperti tersimpan dalam "Loh Mahfudz") --> Kultur setempat (sebagai "baju") = wahyu Kita hanya diwajibkan untuk mengikuti pesan universalnya, bukan "baju" tempat pesan itu menemukan wadahnya. Jadi, bukan qishash atau rajam atau jilbab yang wajib diikuti, tetapi nilai-nilai yang ada di baliknya. Bagaimana nilai-nilai itu diterjemahkan kedalam kehidupan kongkret, itu terserah kepada ijtihad manusia. (tulisan Ulil Abshar-Abdalla pada milis muslimah, sabili) Referensi; -Tulisan Ulil Abshar-Abdalla pada milis muslimah, sabili -Abdul hamid hakim, Mabadi’ awaliyah, Pn Maktabah sa’diyah putera, Jakarta -Catatan dari Ciganjur Gus Dur, Walisongo dan Arabisasi - Oleh : Syaifullah Amin fasilitator Arabic and Middle East Studies. Ponpes Luhur Ciganjur - nicols kajang@2004
Tags: Artikel

0 comments

Leave a Reply